Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah

http://www.zonaislam.net/2015/12/hukum-merayakan-maulid-nabi-muhammad.html
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang kami hormati. Setiap bulan Rabiul
Awal, umat Islam di berbagai belahan dunia, khususnya umat Islam
Indonesia, merayakan hari kelahiran Nabi saw yang diisi dengan aneka
ragam kebajikan dan sedekah. Pada saat yang sama, ada juga sebagian
kecil umat Islam, setiap bulan Rabiul Awal tiba, menyebarkan isu bahwa
merayakan maulid Nabi saw hukumnya bid’ah tercela, haram dan dilarang
agama, karena Nabi saw tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan
tidak ada hadits shahih yang secara tegas menganjurkan umat Islam agar
merayakan Maulid Nabi saw. Ustadz yang kami hormati, bagaimana
sebenarnya hukum merayakan Maulid Nabi saw menurut para ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Terima kasih atas jawabannya. Wassalam.
KH. Muhammad Idrus Ramli Asy-Syafi’i Menjawab:
Wa’alaikumussalam wr wb.
Saudara
penanya –semoga dimuliakan Allah-. Pernyataan sebagian kelompok kecil
bahwa merayakan hari kelahiran Nabi saw adalah bid’ah tercela dan haram,
dengan alasan Nabi saw tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits
shahih yang menganjurkan, adalah keliru dan tidak benar berdasarkan
alasan-alasan berikut ini:
Pertama,
merayakan Maulid Nabi saw, bukan termasuk bid’ah tercela dan haram,
bahkan termasuk bid’ah hasanah dan dianjurkan dalam agama, sebagaimana
ditegaskan oleh para ulama dari berbagai madzhab dan kalangan, termasuk
para ulama ahli hadits.
Al-Imam al-Hafizh Abu Syamah al-Maqdisi, guru al-Imam al-Nawawi, berkata dalam kitabnya al-‘Baits fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits sebagai berikut:
أَفْضَلُ
ذِكْرَى فِيْ أَيَّامِنَا هِيَ ذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ. فَفِيْ
هَذَا الْيَوْمِ يُكْثِرُ النَّاسُ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَيَزِيْدُوْنِ فِي
الْعِبَادَاتِ وَيُبْدُوْنَ كَثِيْراً مِنَ الْمَحَبَّةِ لِلنَّبِيِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَحْمَدُوْنَ اللهَ تَعَالىَ كَثِيْراً بِأَنْ
أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ رَسُوْلَهُ لِيَحْفَظَهُمْ عَلىَ سُنَّةِ
وَشَرِيْعَةِ اْلإِسْلاَمِ.
“Peringatan
paling utama pada masa sekarang adalah peringatan Maulid Nabi saw. Pada
hari tersebut, manusia memperbanyak mengeluarkan sedekah, meningkatkan
aktifitas ibadah, mengekspresikan kecintaan kepada Nabi saw secara
maksimal, memuji Allah Subhanahu wata’ala dengan lebih meriah karena
telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka untuk menjaga mereka di atas
Sunnah dan Syariat Islam.”
Demikian pernyataan Al-Imam Abu Syamah dalam kitabnya al-Ba’its fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits. Kitab ini sangat dikagumi oleh kaum Salafi-Wahabi yang anti Maulid, karena pandangannya dalam persoalan bid’ah.
Kedua,
seandainya Nabi saw memang tidak pernah merayakan hari kelahirannya,
dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan merayakan
Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk mengharamkan
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menganggapnya sebagai
bid’ah yang tercela. Dalam hal ini masih harus melihat dalil-dalil agama
yang lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual
terhadap dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, meskipun telah dimaklumi
bahwa Nabi saw tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih
yang secara tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli
hadits dari berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan
perayaan Maulid Nabi saw, berdasarkan pemahaman secara kontekstual
(istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits.
Ketiga, di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan Maulid adalah ayat berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107).
Dalam
hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan
bahwa dirinya merupakan rahmat Allah yang dipersembahkan kepada umat
Islam. (HR. al-Hakim, dalam al-Mustadrak 1/83). Ayat al-Qur’an dan
hadits di atas, merupakan penegasan bahwa Rasulullah saw adalah rahmat
bagi semesta alam. Sementara dalam ayat yang lain, Allah juga
memerintahkan untuk bergembira dengan rahmat tersebut. Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Ayat
di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika
menafsirkan ayat tersebut berkata: “Karunia Allah adalah ilmu agama,
sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”.
(Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur 7/668). Dari sini dapatlah
disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang
memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman tentang Nabi Isa AS:
قَالَ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً
مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً
مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Isa
putra Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami
suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah
kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama”. (QS. al-Maidah :
114).
Dalam ayat di atas, Allah SWT
menegaskan bahwa turunnya hidangan dari langit yang dimohonkan oleh Nabi
Isa ‘Alaihissalam, layak dijadikan hari raya bagi para pengikut Isa AS.
Sudah barang tentu, lahirnya Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam,
lebih utama dari pada turunnya hidangan dari langit tersebut. Apabila
turunnya hidangan dari langit tersebut layak menjadi hari raya bagi
pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam, tentu saja lahirnya Nabi
Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak lagi menjadi hari raya
bagi umatnya yang dirayakan dalam setiap tahun. Pemahaman kontenkstual
semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan Qiyas Aula.
Keempat,
selain didasarkan kepada dua ayat di atas, perayaan Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga didasarkan pada hadits-hadits shahih.
Antara lain hadits berikut ini:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا
يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ
فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ.
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « فَنَحْنُ أَحَقُّ
وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Ibnu
Abbas RA meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam datang ke Madinah, kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura.
Rasulullah saw bertanya: “Hari apa kalian berpuasa ini?” Mereka
menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya,
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa karena bersyukur
kepada Allah, maka kami juga berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari pada kalian.” Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan
umatnya berpuasa.” (HR. Muslim).
Dalam
hadits shahih di atas, selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran
Raja Fir’aun, serta tenggalamnya Fir’aun dan kaumnya, telah dijadikan
momentum oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya untuk dirayakan setiap
tahun dengan cara berpuasa. Lalu Nabi saw membenarkan puasa tersebut,
dan bahkan beliau melakukan dan memerintahkan umat Islam agar berpuasa
pada hari Asyura setiap tahun. Sudah barang tentu, lahirnya Nabi saw
lebih utama untuk dijadikan momentum sebagai hari raya, dalam setiap
tahun, karena derajat beliau yang lebih mulia dan lebih utama dari pada
nabi-nabi yang lain termasuk Nabi Musa ‘alaihissalam. Dalam hal ini,
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
“فَيُسْتَفَادُ
مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلىَ مَا مَنَّ بِهِ فِيْ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ
مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ، أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِيْ
نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلَّ سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ يَحْصُلُ
بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ… وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ
بِبُرُوْزِ هَذاَ النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ
وَآَلِهِ وَسَلَّمَ”.
“Dari
hadits tersebut dapat diambil kesimpulan tentang perbuatan bersyukur
kepada Allah karena karunianya pada hari tertentu berupa datangnya
kenikmatan atau tertolaknya malapetaka, dan perbuatan syukur tersebut
diulangi pada hari yang sama dalam setiap tahunnya. Bersyukur dapat
terlaksana dengan beragam ibadah… Kenikmatan apa yang kiranya lebih
agung dari pada kenikmatan dengan lahirnya Nabi pembawa rahmat
shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pemahaman
kontekstual semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih, disebut dengan Qiyas
Aula, dimana hukum yang dianalogikan lebih kuat dari pada hukum asal
yang menjadi patokan analogi. Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya
(jua 21 hal. 207), menganggap bahwa hukum yang disimpulkan dari
pemahaman kontekstual (mafhum) melalui Qiyas Aula, lebih kuat dari pada
hukum yang diambil pemahaman tekstualnya (manthuq). Menurutnya,
penolakan terhadap hukum yang dihasilkan melalui Qiyas Aula, termasuk
bid’ah kaum literalis (zhahiriyah) yang tercela. Syaikh Ibnu Taimiyah
adalah salah satu dari ulama Salafi Wahabi.
Kesimpulan.
Dari
paparan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa perayaan Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk bid’ah hasanah yang dianjurkan
dalam agama berdasarka ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Sedangkan pendapat sebagian kalangan, yang menganggap bahwa perayaan
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk bid’ah tercela dan
haram, adalah keliru dan memandang persoalan dari perspektif yang sempit
dan terbatas.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
“Mengagungkan
maulid dan menjadikannya sebagai tradisi, pahalanya agung, karena
tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.” (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621).
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Dalil Dan Bukti Legalitas Amalan Maulid Nabi dalam Kitab Imam Ahlusunnah
- Kitab Bidayah Wannihah (Ibnu Katsir). Imam Ibnu Katsir memuji amalan maulid khalifah Sultan al-Muzaffar (saudara ipar Shalhuddin al-Ayyubi) yang membuat maulid diseluruh negeri tiap tahunnya.
- Imam Dhahabi (Kitab Tarikh al-Islam: wa-tabaqat al-mashahir wa-al-a`lam). Imam Ibnu Katsir dan Adz-Dzahabi memuji amalan maulid khalifah Sultan al-Muzaffar (saudara ipar Shalhuddin al-Ayyubi) yang membuat maulid diseluruh negeri tiap tahunnya.
- Kitab Al Hawi lil Fatawi (Imam Jalal al-Din al-Suyuti).
- Husn al-Maqsad fi Amal al-Mawlid, (Imam Jalal al-Din al-Suyuti).
- Kitab Syarah al ‘alamah Azzarqani.
- Dalil Dalil Keutamaan Maulid.